PERKEMBANGAN SENI KARAWITAN JAWA SEBAGAI CERMIN BUDAYA MASYARAKAT JAWA
Agung Sutrisno
Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni
Indonesia Yogyakarta
Abstrak
Karawitan Jawa telah ada sejak
jaman prasejarah. Sejak dulu hingga saat ini Karawitan Jawa telah mengalami
cukup banyak perkembangan dan perubahan. Musik tradisional Jawa yang dulu
berkembang di lingkungan Kerajaan, kini telah tersebar dan berkembang di
masyarakat luas bahkan sampai manca Negara. Dalam budaya masyarakat khususnya
Jawa, musik (Karawitan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia karena dianggap sebagai cerminan masyarakat, yang dapat dilihat melalui
ritual dan upacara adat. Musik Karawitan Jawa, jika dilihat dari Struktur, fungsi,
nama-nama gending, simbol-simbol dalam ricikan gamelan dll, itu semua
mencerminkan budaya masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat mengalami perkembangan
dan perubahan seiring berjalannya waktu.
Kata Kunci : Kebudayaan Jawa, Seni Karawitan Jawa
Abstract
Javanese
Karawitan has exited since prehistoric times. From the first to the present
Javanese Karawitan has undergone a lot
of developments and changes. Javanese tradicional music which once flourished
in the Kingdom. Has now spread and developed in the wider society even to
foreign countries. In Javanese culture, music (karawitan) is the integral part
from human lifes because considered as a reflection of society, which can be seen trough ritual.
Javanese Karawitan music, if seen from structure, function, name of gending,
symbols of instrument ect, all of them are reflected of Javanese Culture
society. That can undergone changes and development by goes the times.
Keyword : Javanese Karawitan, Javanese
Culture
PENDAHULUAN
Masyarakat Jawa memiliki musik tradisional
asli jawa yang disebut dengan Karawitan Jawa. Setiap masyarakat Indonesia pasti
tidak asing dengan kalimat tersebut. Eksistensi atau keberadaan karawitan di
tengah masyarakat tidak pernah lepas dari budaya masyarakat itu sendiri.
Resistensi atau ketahanan karawitan dalam menghadapi perubahan zaman
berlangsung sepanjang zaman. (Purwadi, 2006: 1-3)
Sejak
dahulu hingga saat ini telah terjadi
perubahan dan perkembangan dalam musik karawitan Jawa. Karawitan Jawa
dapat dikatakan sebagai cermin budaya masyarakat jawa. Hal tersebut dapat
dilihat dari Struktur Karawitan, Alat-alat music karawitan, penamaan gending
karawitan, sampai penamaan gending-gending karawitan.
Dalam
artikel kali ini, penulis akan memaparkan seluk-beluk karawitan Jawa, mulai dari
pengertian karawitan sejarah, hingga unsure-unsur dalam karawitan. Namun pada
tulisan ini dikhusus pada perkembangan
dan pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat jawa. Sehingga dapat dikatakan
Karawitan adalah cermin masyarakat Jawa.
Sekilas Tentang
Karawitan Jawa
Definisi
Karawitan adalalah Musik Indosesia yang bersistem nada pentatonic (berlaras pelog dan slendro) yang tata garapnya
telah menggunakan tata notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat,
patet ( tangga nada) instrumentalia (gamelan), vocal, atau campuran instrumen
dan vocal, enak didengar untuk diri sendiri dan orang lain. ( Suhastjarja,
1984/1985:2)
Karawitan
jawa ada beberapa jenis diantaranya Karawitan Mandiri, Karawitan Iringan,
Karawitan Pakurmatan, dan Karawitan Komposisi/Kreasi Baru. Dalam karawitan ada
dua elemen pokok yaitu irama dan lagu. Dalam karawitan ada bentuk-bentuk
gending, diantaranya Lancaran, Bubaran,
Ketawang, Ladrang, Gending Candra, Gending Sarayuda,Gending Jangga, Gending
Semang, Gending Mawur, Ayak-ayak, Sampak, Playon (srepeg), Jineman, dan Gending
dolanan.
Dalam
karawitan jawa ada dua laras yaitu pelog dan slendro. ‘laras slendro’ (mempunyai susunan sebanyak
lima nada, yaitu nada 1, 2, 3, 5, dan 6) dan ‘laras pelog’
(mempunyai susunan sebanyak tujuh nada, yaitu nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7).
Kedua larasitu, dalam teori nada dikategorikan sebagai ‘nada penta
tonis’ (mempunyai lima nada). Meskipun demikian, pada bahasan yang lebih
mendalam, ternyata laras pelog bisa dibagi lagi menjadi
dua laras yang berbeda, yaitu ‘laras pelog bem’ (mempunyai
susunan sebanyak enam nada, yaitu nada 1, 2, 3, 4, 5, dan 6) dan ‘laras
pelog barang’ (mempunyai susunan sebanyak enam nada, yaitu nada 2, 3,
4, 5, 6,dan 7). Jadi sebenarnya laras dalam gamelanJawa
ada tiga, yaitu laras slendro, laras pelog bem, dan laras
pelog barang. Meskipun demikian, kenyataannya kedua laras
pelog itu, biasanya disusun dalam satu kesatuan, yang lazim disebut
sebagai ‘gamelan laras pelog’, yang susunan nada-nadanya
umumnya terdiri dari nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Penyebabnya adalah,
nada-nada 2, 3, 4, 5, dan 6 pada gamelan laras pelog bem dan laras
pelog barang, merupakan nada-nada yang frekuensinya sama. Jadi,
penyatuan laras pelog bem dengan laras pelog
barang dalam satu susunan nada, sebenarnya lebih didasari segi
kepraktisan. Selain itu, dalam sejumlah komposisi gendhing, secara
terbatas ada juga permainan nada yang memang menggunakan kedua susunan
nada pelog secara bersamaan.
Karawitan jawa
memiliki berbagai fungsi antara lain, karawitan sebagai iringan tari, iringan
wayang, media pendidikan, ritual dan upacara adat, media terapi dan
penyembuhan, dan sebagai mata pencaharian.
Pemaparan
diatas adalah sedikit gambaran tentang karawitan. Namun penulis tidak
memaparkan secara rinci hal-hal diatas. Karena tulisan ini akan difokuskan pada
perkembangan karawitan
SEJARAH
KARAWITAN PADA MASA LAMPAU
Telah
lama diakui bahwa musik (termasuk seni karawitan) adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Musik dianggap sebagai salah satu cermin
dari masyarakat tertentu karena melalui terlihat ritual dan budaya sehari-hari.
Musik sebagai karya manusia juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk yang paling sederhana, dipahami bahwa
melalui musik, pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran, daya cipta dan
perasaannya, dan melalui musik pula orang dapat menghargai keindahan dan
memperoleh ketenangan. Perkembangan instrumen gamelan dan alat musik lainnya di
Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa
piagam kuno lainnya (Kunst, 1973: 11).
Masing-masing instrumen diciptakan
secara bertahap dan sangat dimungkinkan juga muncul secara terpisah dari sisi
waktu, lokasi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau.
Beberapa peninggalan sejarah berbentuk relief pada candi batu, yaitu candi
Dieng dan Candi Sari yang berasal dari abad VIII, memberikan informasi mengenai
beberapa alat musik yang diprediksi sebagai embrio dari beberapa instrumen
musik yang terdapat pada gamelan saat ini, misalnya: genta, sitar dan kecer
(Soetrisno, 1981: 10).
Sejarah gamelan pada masa Hindu
Jawa tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan
secara visual dan tidak dapat memberikan keterangan yang akurat, demikian juga
pada aktivitasnya (Sumarsam, 1995: 11). Sama halnya dengan relief yang terdapat
pada candi Prambanan, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur (Palgunadi,
2002: 9).
Sedyawati dalam bukunya Seni
Pertunjukan Indonesia menjelaskan sejarah tari berdasarkan data utama
relief bangunan suci Jawa Tengah yaitu Borobudur, Prambanan dan Sewu. Sikap
tari pada relief–relief tersebut merupakan varian atau ornamentasi tari
tertentu. Kelima sikap kaki yang diuraikan dalam Natya Sastra semuanya
jelas ada pada relief-relief tari ini terutama candi Siwa (Kompleks Prambanan)
dan Borobudur, demikian juga pada bangunan suci Sewu. Alat musik yang
terdapat pada adegan tarian tersebut berfungsi sebagai penekanan irama/ritme
dan melodi. Alat musik yang ada seperti kendang susun tiga, cymbal,
kendang silinder, tongkat gesek dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa
sebenarnya antara seni tari dan seni musik ada kaitan yang erat dan saling
membutuhkan (Sedyawati, 1981: 137).
Beberapa instrumen musik tampak
pada relief candi Borobudur, misalnya relief karmawibhangga yang
menceritakan hukum karma atau hukum sebab akibat yang dipahatkan pada dinding
kaki candi. Seni tari dan seni musik sejak jaman dulu mendapat penghargaan yang
tinggi terbukti dengan banyaknya relief alat musik dan adegan tarian pada
dinding candi. Selain itu banyak juga naskah kuno yang menyebutkan keistimewaan
alat musik gamelan dan sebagainya hingga tidak ada bandingnya di negeri lain di
Asia Tenggara
.
Gambar 1: Relief Candi Borobudur Panil
nomor Iba. 233a
Relief
di atas menunjukkan adegan penari dan pemusik dengan instrumen musiknya. Bagian tengah panil memperlihatkan seorang
penari wanita berdiri di atas suatu tempat yang agak tinggi (batur) dan
di kiri penari berdiri seorang laki-laki berjenggot yang bertepuk tangan.
Anggota badan manusia sebagai sumber bunyi (tepuk tangan), instrumen musik
dengan jumlah yang minimal, dan pose bentuk tubuh manusia pada saat melakukan
tarian secara sekilas memberikan informasi keterkaitan antara tari dan musik
sebagai pengiringnya. Pada zaman itu telah ada kreatifitas kesenian, yaitu
dalam bentuk tarian dan musik. Meskipun sederhada namun itu bentuk perkrmbangan
pada saat itu. Pada kurun waktu berikutnya, tercipta beberapa instrumen musik
dengan bentuk dan namanya yang sangat beragam, sebagai salah satu contoh adalah
instrumen kendang.
Beberapa
istilah yang diperoleh dari artefak sejarah yang diketemukan memberikan
informasi bahwa instrumen kendang mempunyai beberapa istilah yang berbeda untuk
menyebutkannya, yaitu: padahi, pataha, padaha, muraba, murawa, muraja, dan
mredangga. Kreativitas masyarakat Jawa pada masa lampau berkembang
seiring dengan perjalanan waktu hingga pada akhirnya terbentuklah seperangkat
instrumen musik Jawa secara lengkap yang disebut gamelan (Sutrisno, 1981: 5).
Lebih spesifik disebut gamelan gedhe atau jangkep, yaitu
seperangkat gamelan lengkap yang biasa dimiliki masyarakat secara umum
(Palgunadi, 2002: 211).
Sejarah
perkembangan alat musik gamelan telah diteliti oleh Soetrisno, seorang arkeolog
yang mempunyai perhatian besar pada sejarah perkembangan gamelan Jawa. Hasil
penelitian berdasarkan peninggalan arkeologis kemudian disajikan secara
terperinci dalam bukunya yang berjudul Sejarah
2 Karawitan‟ diterbitkan oleh Akademi Seni Tari Indonesia tahun
1981. Informasi mengenai perkembangan gamelan dimulai dari kemunculan alat
musik yang masih sangat sederhana, baik yang berdiri sendiri sebagai salah satu
kelengkapan dalam upacara adat/ritual atau dalam sebuah kelompok dalam jumlah
yang kecil.
Proses
perkembangan dalam rentang waktu hingga ratusan tahun membuahkan kreativitas
untuk menggabungkan satu persatu dari alat musik yang ada menjadi kelompok yang
lebih besar. Tahapan tertentu pada perkembangannya menghasilkan seperangkat
alat musik dengan keragaman bentuk, ukuran, laras, teknik memainkan, dan
estetika penyajiannya yang semakin baik. Akhirnya, perangkat ini disebut dengan
istilah yang sangat dikenal, yaitu gamelan.
KONSEP TRI TUNGGAL DALAM KARAWITAN JAWA
Konsep
Trimurti pada ajaran Hindu, yaitu penjelmaan tiga dewa : Wisnu, Syiwa, dan
Brahma. Konsep Triloka yaitu kamadhatu,
rupadhatu, arupadhatu diilhami dari ajaran Budha yang kemudian
dividualisasikan pada penciptaan candi Borobudur. Begitu pula kejawen sebagai sistem religi masyarakat
Jawa aslimempunyai konsep spiritual Tritunggal, yakni tiga spirit Urip – Sing Nguripi – Sing Gawe Urip yang merupakan suatu
kombinasi kekuatan hidup yang mutlak; perjalanan manusia (sangkan paraning dumadi) yang terdiri dari tiga perjalanan, yakni lahir, urip, mati. Ketika unsur tersebut
mewarnai bahkan mendasari setiap perilaku Jawa. Tidak sedikit konsep seperti
itu, menjadi landasan terciptanya benda-benda atau bangunan-bangunan sebagai
hasil seni budaya jawa. Gamelan yanag merupakan salah satu hasil karya atau
produk budadya Jawa, tentunya juga mempunyai hubungan nilai-nilai yang syarat
terhadap nilai religius.
Dalam bmasyarakat Jawa banyak
konsep falsafah hidup yang mempunyai jumlah tiga dan berlaku pada masyarakat
Jawa, misalnya : konsep perjalanan hidup manusia lahir, urip, mati ; konsep “alon-alon
waton kelakon” dan sebagainya.
Konsep Tiga seperti diatas,
juga dijumpai pada bangunan-bangunan atau benda-benda contohnya Candi borobudur
yang memiliki tiga tingkatan bangunan. Konsep tersebut merepresentasikan konsep
ajaran budha yakni Triloka ; selain candi borobudur, dalam keris juga dijumpai
konsep tiga, yaitu wilah, ganja, pesi yang
disebut juga teluning atunggal; kemudian
bangunan rumah tradisional jawa yang mempunyai pembagian tiga ruang ;
kesemuanya itu terinspirasi oleh konsep Tritunggal Jawa.
Dalam penataan Gamelan Ageng Yogyakarta secara lazim setiap instrumen
dibagi menjadi tiga, sebagai contoh :
1. Gender
:
Gender Panembung (Slenthem), Gender Barung, dan
Gender Penerus
2. Bonang :
Bonang Panembung, Bonang Barung, dan Bonang Penerus
3. Gambang
:
terdiri secara tunggal, atau tidak terbagi tiga
4. Rebab
:
terdiri secara tunggal, atau tidak terbagi tiga
5. Saron
:
Demung, Saron, dan peking
6. Kendang
:
Kendang Ageng, Kendang ciblon, Kendang Alit
7. Kenong
:
kempyang, kethuk, dan kenong
8. Gong
:
kempul, suwukan, dan gong
Berdasarkan penjelasan diatas, Gamelan Ageng Jawa sebagai hasil karya
(produk budaya) atasa sebuah ide, gagasan, atau konsep Tri tunggal sebagai
salah hal yang menjadi landasan perilaku, atau aktivitas. Wujud kebudayaan ada
jawa ada tiga yaitu, konsep Tritunggal Jawa sebagai ide atau gagasan, proses
penciptaan atau pengadaan gamelan Ageng Jawa sebagai perilaku atau aktivitas,
merupakan ketiga wujud kebudayaan yang saling mempengaruhi.
Berbicara masalah falsafah hidup dan spiritualisme masyarakat Jawa, kepercayaan
manusia Jaya asli senantiasa menghubung-hubungkan keberadaan “Tuhan” dengan alam. Inilah yang di kenal
sebagai suatu ajaran kosmogoni dan atau kosmologi manusia Jawa.
Definisi Konsep Tritunggal Jawa
Menurut etmologi bahasa Jawa, istilah Tri Tunggal berasal dari dua kata,
yaitu tri: tiga dan tunggal satunggil, awor tunggil golong yang berarti satu,
berkumpul menjadi bulat menyatu.
Simbol-simbol
konsep Tri Tunggal Jawa
Simbol
Trimandala
a. Tataruang
rumah Jawa dan Bali sebagai simbol trimandala Konsep “ kesatuan-tiga” atau Tri
Tunggal direpresentasikan kedalam bentuk rumah tradisional jawa lengkap . Rumah
tradisional jawalengkap maksudnya , rumah tradisional jawa terdiri dari
penataan ruang secara lengkap. Secara garis besar penataan ruang terdiri dari tiga
yaitu : pendopo, pringgitan, dan dalam.
“Kestuan-tiga” tampak divisualisasaikan kedalam bentuk ruang tersebut pada
rumah tradisional jawa secara privasi merupakan suatu kesatuan.
b. Konsep
Tiga Kesatuan waktu dalam pertunjukan seni pertunjukan wayang kulit Jawa.
Pertunjukan wayang kulit jawa, mengandung berbagai macam simbol-simbol yang
berisikan filosofi jawa. Dalam Penataan kelir pada pertunjukan wayang jawa,
konsep Tri Tunggal Jawa disimbolkan pada Plangkangan,
Gedebog, dan kelir. Dalam pertunjukan wayang dibagi menjadi tiga pathet yaitu Pathet nem 21.00 - 00.00 melambangkan kehidupan kanak-kanak yang
masih labil, pathet sanga 00.00 – 03.00 melambangkan
suasana kehidupan orang dewasa menghadapi pemecahan problem hidup menuju
kedewasaan, sedangkan pathet manyura,
03.00-06.00 melambangkan kehidupan orang tua mendekati keselesaiannya.
Unsur tiga dalam instrumentasi gamelan jawa antara lain dapat ditemukan
pada ricikan- ricikan gamelan jawa yang didominasi oleh tiga unsur. Selain itu
unsur tiga juga dapat ditemukan pada perangkat komposisi dasar musikalitas
dalam gamelan ageng jawa, antara lain : Buka,
Isi, Suwuk dalam komposisi dasar garap gending pathet sebagai perangkat
komposisi dasar garap gending dalam gamelan ageng jawa; serta klarifikasi
tembang-tembang mocopat dalam vokal sebagai bagian dari instrumentasi Gamelan
Ageng Jawa.
Dalam instrumen gamelan Ageng Jawa semua instrumen bahkan memikili unsur
tiga, seperti gender, bonang, kenong, gong, saron, gambang, rebab, dan kendang.
Dalam penataan ricikan bonang dibagi menjadi dua deret, yaitu deretan atas
merupakan deretan pencon bernada
tinggi (dinamakan brunjung atau lazim
disebut bonang lanang) deretan bawah
benada rendah (dinamakan Dempok atau
lazim disebut dengan bonang wadon).
Dalam penyajian gending jawa dibagi menjadi tiga pathet yaitu Nem, sanga, Manyura. Pembagian tiga pathet pada masing-masing laras (pelog dan slendro) diungkapkan oleh
Suroso bahwa hal ini dikarenakan adanya kemungkinan mengenai pathet-pathet lain
secara musikal dapat dimasukkan kedalam ketiga unsur pathet tersebut, dan adanya kemungkinan bahwa sistem pembagian tiga
disebabkan oleh pengaruh konsep candi dan kayon (pada kesenian wayang).
KARAWITAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
MASYARAKAT JAWA
Dalam kehidupan masyarakat jawa,
karawitan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Dijelaskan melalui
terminologi sosial yang eksklusif, musik digunakan dalam tarian dan permainan;
media pendidikan; terapi; mengorganisir kerja dan perang; dalam upacara dan
ritual; penanda kelahiran, perkawinan dan kematian; merayakan panen dan
penobatan; meneguhkan kepercayaan dan kegiatan tradisi. Selain itu, karawitan
juga berfungsi sebagai sarana hiburan, sarana ibadah, etos kerja, dan juga
propaganda.
Karawitan sebagai upacara adat dapat
dilihat dari upacara adat masyarakat jawa, sebagai contoh ruwatan, bersih desa, labuhan, sekaten dengan adanya iringan
karawitan upacara adat akan berlangsung khusyuk dan khidmat.
Karawitan sebagai media pendidikan
dapat dilihat dari sudut pandang cara membunyikannya, di mana karawitan menjadi
sajian seni musik yang enak didengar bila dimainkan secara bersama-sama. Ini
mencerminkan bahwa kebersamaan menjadi satu hal yang sangat penting untuk
mencapai hasil musik yang berkualitas (garapan musikal). Berarti pula ini
merupakan pendidikan budi pekerti agar kita hidup dalam kebersamaan saling
bergotong royong, tenggang rasa, tepa selira, empan papan duga sulaya bukan
waton sulaya, menghindari sifat egois dan individualis.
Dalam kehidupan sosial masyarakat
jawa, Karawitan juga sebagai propaganda dan etos kerja. Sebagai contoh di
Bantul membangun etos kerja masyarakatnya dengan Lagu Projo Tamansari.
Banyak
masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai seniman karawitan dengan kata lain
menggantungkan hidupnya pada cabang seni ini sebagai tempat mencari penghasilan
atau pendapatan. Karawitan menjadi hiburan dengan warna tersendiri bagi
masyarakat Jawa. Sajian pangkur jenggleng, campur sari, panembrama,
uyon-uyon, siteran gadhon, cokekan, langgam, santi swaran adalah
“nomor-nomor pilihan” yang digemari masyarakat.
Masyarakat Jawa juga menggunakan
karawitan sebagai iringan tari maupun wayang. Seni karawitan juga bisa
digunakan sebagai iringan seni yang lain, seperti tari, teater, dan pedalangan.
Seni tari dengan seni musik karawitan memiliki hubungan yang sangat erat dalam
upaya membangun daya hidup tari, dinamika dan penyuasanaan tertentu. Hidajat
(2005: 53) dalam bukunya berjudul Wawasan Seni Tari menyatakan bahwa musik
dalam karya seni tari (koreografi) bersifat fungsional setidaknya terdapat 3
fungsi antara lain: musik sebagai iringan gerak, musik sebagai penegasan gerak
dan musik sebagai ilustrasi.
Dalam tradisi Jawa tari tradisi
Jawa, salah satu instrumen yang berhubungan erat dengan fenomena ini adalah
peran isntrumen kendang. Esensi instrumen kendang memiliki peran penting
sebagai pembawa rasa seni karawitan ketika dijadikan partner tari. Karawitan tari
belum dapat bermanfaat secara optimal tanpa adanya kendang, terutama bagi
gerakan yang membutuhkan tekanan. Kendang sebagai pamurba irama atau
pemimpin jalannya irama juga dapat menjadi mediator keseimbangan antara tari
dengan karawitan (Trustho, 2005: 99).
Selain terjadi perkembangan fungsi,
dalam karwitan juga berkembang unsure musikalnya. Di abad millennium ini, telah
muncul gamelan elektronik, tentu saja perkembangan ini menjadi warna tersendiri
bagi kalangan seniman karawitan jawa. Terutama kalangan generasi muda. Sebagai
contoh dimasukkannya perangkat musik modern seperti misalnya terompet dan snare
drum pada iringan tari bedhaya di Kraton Yogyakarta atau gitar
elektrik baik gitar string ataupun bass, keyboard, drum set pada
kesenian campursari. Selain
dalam kesenian Campursari saat ini seniman muda karawitan juga
memasukkan elemen instrument music barat dalam pembuatan komposisi musiknya.
Sebagai contoh yang “booming” saat ini adalah Konser Prawirata “Gamelan
& Brass Collaboration” dimana dalam konser ini memadukan Gamelan yang
dikolaborasikan dengan Brass. Hal tersebut tentu menjadi warna baru yang
menarik bagi semua orang. Selain itu juga dapat mempengaruhi seniman lain dalam
pembuatan karyanya.
Secara musikal, karawitan iringan
juga telah mengalami perkembangan. Sebagai contoh Dalang-dalang seperti Ki
Enthus Susmono, Ki Seno Nugroho, dan hampir semua dalang memasukkan drum dan cymbal, dalam garap iringan
wayangnya. Ada beberapa dalang yang menambahkan Biola, Saxofon, dan instrument
musik barat lainnya untuk menambah suasana pementasan. Dalam hal ini dapat kita
lihat bahwa dalam karawitan telah terjadi silang budaya.
Dalam perkembangan Seni Karawitan di
masyarakat tentu memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat, baik
perkembangan fungsi karawitan, maupun perkembangan unsur musikalnya.
Perkembangan ini berpengaruh pada ekonomi masyarakat, sosial, dan budaya. Ditinjau
dari faktor ekonomi, tentu dengan adanya perkembangan ini ekonomi akan
berkembang pesat. Sebagai contoh jika pentas semakin banyak, maka geliat
ekonomi juga akan semakin berkembang. Mulai dari kebutuhan sound system, hingga
kostum untuk pementasan. Hal ini juga berpengaruh pada ekonomi Seniman itu
sendiri.
Ditinjau dari faktor sosial, Prestise
atau gengsi menjadi ciri dari masyarakat masa kini. Kadangkala ini menjadi
tujuan. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa dengan mempergunakan peralatan
yang berbau “modern kebaratan” berarti lebih canggih, tidak kuno dan
kecanggihan ini bagi mereka (sebagian) dianggap mampu meningkatkan “gengsi”. Hal ini tentu pengaruhnya pada
generasi muda yang banyak menggandrungi musik campursari.
Perkembangan
dan perubahan ini erat pengaruhnya dalam faktor Budaya. Dalam karawitan jawa,
kita akan dapat satu sumber media sosial, media pendidikan budi pekerti
seperti: tenggang rasa, tepa selira, kebersamaan, dan gotong royong.
Sifat individual akan hilang karena dalam karawitan jawa ada interaksi, gotong
royong dan kebersamaan. Karena itu adalah cerminan masyarakat jawa. Namun jika
tidak dijaga, maka bisa saja perubahan ini dapat berakibat negative, utamanya
bagi generasi muda masyarakat jawa.
KESIMPULAN
Masyarakat
Jawa memiliki musik tradisional asli jawa yang disebut dengan Karawitan Jawa.
Karawitan jawa tidak bisa lepas dari budaya masyarakat Jawa. Karena karawitan
adalah budaya yang adiluhung. Karawitan dapat dikatakan sebagai cerminan
masyarakat jawa, hal itu dapat dilihat pada, sejarah karawitan itu sendiri,
konsep Tritunggal masyarakat jawa, fungsi karawitan itu sendiri, dan
unsure-unsur dalam karawitan.
Seiring berjalannya waktu karawitan
mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh
dari luar. Dari perkembangan dan perubahan itu, ada tiga faktor yang terpengaruh dalam masyarakat, yaitu
faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor budaya. Dari perkembanghan fungsi
maupun musikalnya hingga saat ini karawitan merupakan cerminan masyarakat jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Hidajat, Robby.
2005. Menerobos Pembelajaran Tari Pendidikan, Banjar Seni
Gantar
Gumelar, Malang.
Kunst, Jaap. 1973.
Music in Java: Its History, Its Theory, and Its Technique. 2 jilid.
Edisi
E.L. Heins. The Hague: Martinus Nijhoff.
Palgunadi, Bram.
2002. Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Penerbit ITB.
Soetrisno. 1981 Sejarah
Karawitan, Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta.
Sumarsam. 1995.
Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in
Central
Java, Chicago: The University of Chicago Press.
Sunaryo, Tejo
Bagus. 2007.Representasi Konsep Tri
Tunggal Pada Instrumentasi
Gamelan Jawa.Yogyakarta :
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni
Indonesia Yogyakarta
Trustho. 2005. Kendang
Dalam Tradisi Tari Jawa, STSI Press, Surakarta.
Hartanto. Perkembangan
Estetika Musikal Seni Karawitan Jawa dan Pengaruhnya
Terhadap Masyarakat Pendukungnya.
Universitas Malang. Jurnal-online.um.ac.id/data/artikel. Diakses Tanggal 23
Juni 2018 Pukul : 15.00
diakses tanggal 25
Juni 2018 pukul 03.00 wib.