Thursday, June 28, 2018

PERKEMBANGAN SENI KARAWITAN JAWA SEBAGAI CERMIN BUDAYA MASYARAKAT JAWA


PERKEMBANGAN SENI KARAWITAN JAWA SEBAGAI CERMIN BUDAYA MASYARAKAT JAWA

Agung Sutrisno
Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Abstrak
Karawitan Jawa telah ada sejak jaman prasejarah. Sejak dulu hingga saat ini Karawitan Jawa telah mengalami cukup banyak perkembangan dan perubahan. Musik tradisional Jawa yang dulu berkembang di lingkungan Kerajaan, kini telah tersebar dan berkembang di masyarakat luas bahkan sampai manca Negara. Dalam budaya masyarakat khususnya Jawa, musik (Karawitan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena dianggap sebagai cerminan masyarakat, yang dapat dilihat melalui ritual dan upacara adat. Musik Karawitan Jawa, jika dilihat dari Struktur, fungsi, nama-nama gending, simbol-simbol dalam ricikan gamelan dll, itu semua mencerminkan budaya masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat mengalami perkembangan dan perubahan seiring berjalannya waktu.

Kata Kunci : Kebudayaan Jawa, Seni Karawitan Jawa

Abstract
Javanese Karawitan has exited since prehistoric times. From the first to the present Javanese Karawitan  has undergone a lot of developments and changes. Javanese tradicional music which once flourished in the Kingdom. Has now spread and developed in the wider society even to foreign countries. In Javanese culture, music (karawitan) is the integral part from human lifes because considered as a reflection  of society, which can be seen trough ritual. Javanese Karawitan music, if seen from structure, function, name of gending, symbols of instrument ect, all of them are reflected of Javanese Culture society. That can undergone changes and development by goes the times.
Keyword : Javanese Karawitan, Javanese Culture
PENDAHULUAN

            Masyarakat Jawa memiliki musik tradisional asli jawa yang disebut dengan Karawitan Jawa. Setiap masyarakat Indonesia pasti tidak asing dengan kalimat tersebut. Eksistensi atau keberadaan karawitan di tengah masyarakat tidak pernah lepas dari budaya masyarakat itu sendiri. Resistensi atau ketahanan karawitan dalam menghadapi perubahan zaman berlangsung sepanjang zaman. (Purwadi, 2006: 1-3)

            Sejak dahulu hingga saat ini telah terjadi  perubahan dan perkembangan dalam musik karawitan Jawa. Karawitan Jawa dapat dikatakan sebagai cermin budaya masyarakat jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari Struktur Karawitan, Alat-alat music karawitan, penamaan gending karawitan, sampai penamaan gending-gending karawitan.

            Dalam artikel kali ini, penulis akan memaparkan seluk-beluk karawitan Jawa, mulai dari pengertian karawitan sejarah, hingga unsure-unsur dalam karawitan. Namun pada tulisan ini  dikhusus pada perkembangan dan pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat jawa. Sehingga dapat dikatakan Karawitan adalah cermin masyarakat Jawa.

Sekilas Tentang Karawitan Jawa
           
            Definisi Karawitan adalalah Musik Indosesia yang bersistem nada pentatonic (berlaras pelog dan slendro) yang tata garapnya telah menggunakan tata notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat, patet ( tangga nada) instrumentalia (gamelan), vocal, atau campuran instrumen dan vocal, enak didengar untuk diri sendiri dan orang lain. ( Suhastjarja, 1984/1985:2)

            Karawitan jawa ada beberapa jenis diantaranya Karawitan Mandiri, Karawitan Iringan, Karawitan Pakurmatan, dan Karawitan Komposisi/Kreasi Baru. Dalam karawitan ada dua elemen pokok yaitu irama dan lagu. Dalam karawitan ada bentuk-bentuk gending, diantaranya Lancaran, Bubaran, Ketawang, Ladrang, Gending Candra, Gending Sarayuda,Gending Jangga, Gending Semang, Gending Mawur, Ayak-ayak, Sampak, Playon (srepeg), Jineman, dan Gending dolanan.

            Dalam karawitan jawa ada dua laras yaitu pelog dan slendro‘laras slendro’ (mempunyai susunan sebanyak lima nada, yaitu nada 1, 2, 3, 5, dan 6) dan ‘laras pelog’  (mempunyai susunan sebanyak tujuh nada, yaitu nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Kedua larasitu, dalam teori nada dikategorikan sebagai ‘nada penta tonis’ (mempunyai lima nada). Meskipun demikian, pada bahasan yang lebih mendalam, ternyata laras pelog bisa dibagi lagi menjadi dua laras yang berbeda, yaitu ‘laras pelog bem’ (mempunyai susunan sebanyak enam nada, yaitu nada 1, 2, 3, 4, 5, dan 6) dan ‘laras pelog barang’ (mempunyai susunan sebanyak enam nada, yaitu nada 2, 3, 4, 5, 6,dan 7). Jadi sebenarnya laras dalam gamelanJawa ada tiga, yaitu laras slendro, laras pelog bem, dan laras pelog barang.  Meskipun demikian, kenyataannya kedua laras pelog itu, biasanya disusun dalam satu kesatuan, yang lazim disebut sebagai ‘gamelan laras pelog’, yang susunan nada-nadanya umumnya terdiri dari nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Penyebabnya adalah, nada-nada 2, 3, 4, 5, dan 6 pada gamelan laras pelog bem dan laras pelog barang, merupakan nada-nada yang frekuensinya sama.  Jadi, penyatuan laras pelog bem dengan laras pelog barang dalam satu susunan nada, sebenarnya lebih didasari segi kepraktisan. Selain itu, dalam sejumlah komposisi gendhing, secara terbatas ada juga permainan nada yang memang menggunakan kedua susunan nada pelog secara bersamaan.

            Karawitan jawa memiliki berbagai fungsi antara lain, karawitan sebagai iringan tari, iringan wayang, media pendidikan, ritual dan upacara adat, media terapi dan penyembuhan, dan sebagai mata pencaharian.

            Pemaparan diatas adalah sedikit gambaran tentang karawitan. Namun penulis tidak memaparkan secara rinci hal-hal diatas. Karena tulisan ini akan difokuskan pada perkembangan karawitan

SEJARAH KARAWITAN PADA MASA LAMPAU

            Telah lama diakui bahwa musik (termasuk seni karawitan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Musik dianggap sebagai salah satu cermin dari masyarakat tertentu karena melalui terlihat ritual dan budaya sehari-hari. Musik sebagai karya manusia juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk yang paling sederhana, dipahami bahwa melalui musik, pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran, daya cipta dan perasaannya, dan melalui musik pula orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan. Perkembangan instrumen gamelan dan alat musik lainnya di Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa piagam kuno lainnya (Kunst, 1973: 11).

Masing-masing instrumen diciptakan secara bertahap dan sangat dimungkinkan juga muncul secara terpisah dari sisi waktu, lokasi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau. Beberapa peninggalan sejarah berbentuk relief pada candi batu, yaitu candi Dieng dan Candi Sari yang berasal dari abad VIII, memberikan informasi mengenai beberapa alat musik yang diprediksi sebagai embrio dari beberapa instrumen musik yang terdapat pada gamelan saat ini, misalnya: genta, sitar dan kecer (Soetrisno, 1981: 10).

Sejarah gamelan pada masa Hindu Jawa tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan secara visual dan tidak dapat memberikan keterangan yang akurat, demikian juga pada aktivitasnya (Sumarsam, 1995: 11). Sama halnya dengan relief yang terdapat pada candi Prambanan, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur (Palgunadi, 2002: 9).

Sedyawati dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia menjelaskan sejarah tari berdasarkan data utama relief bangunan suci Jawa Tengah yaitu Borobudur, Prambanan dan Sewu. Sikap tari pada relief–relief tersebut merupakan varian atau ornamentasi tari tertentu. Kelima sikap kaki yang diuraikan dalam Natya Sastra semuanya jelas ada pada relief-relief tari ini terutama candi Siwa (Kompleks Prambanan) dan Borobudur, demikian juga pada bangunan suci Sewu. Alat musik yang terdapat pada adegan tarian tersebut berfungsi sebagai penekanan irama/ritme dan melodi. Alat musik yang ada seperti kendang susun tiga, cymbal, kendang silinder, tongkat gesek dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya antara seni tari dan seni musik ada kaitan yang erat dan saling membutuhkan (Sedyawati, 1981: 137).

Beberapa instrumen musik tampak pada relief candi Borobudur, misalnya relief karmawibhangga yang menceritakan hukum karma atau hukum sebab akibat yang dipahatkan pada dinding kaki candi. Seni tari dan seni musik sejak jaman dulu mendapat penghargaan yang tinggi terbukti dengan banyaknya relief alat musik dan adegan tarian pada dinding candi. Selain itu banyak juga naskah kuno yang menyebutkan keistimewaan alat musik gamelan dan sebagainya hingga tidak ada bandingnya di negeri lain di Asia Tenggara

.
Gambar 1: Relief Candi Borobudur Panil nomor Iba. 233a

Relief di atas menunjukkan adegan penari dan pemusik dengan instrumen musiknya.  Bagian tengah panil memperlihatkan seorang penari wanita berdiri di atas suatu tempat yang agak tinggi (batur) dan di kiri penari berdiri seorang laki-laki berjenggot yang bertepuk tangan. Anggota badan manusia sebagai sumber bunyi (tepuk tangan), instrumen musik dengan jumlah yang minimal, dan pose bentuk tubuh manusia pada saat melakukan tarian secara sekilas memberikan informasi keterkaitan antara tari dan musik sebagai pengiringnya. Pada zaman itu telah ada kreatifitas kesenian, yaitu dalam bentuk tarian dan musik. Meskipun sederhada namun itu bentuk perkrmbangan pada saat itu. Pada kurun waktu berikutnya, tercipta beberapa instrumen musik dengan bentuk dan namanya yang sangat beragam, sebagai salah satu contoh adalah instrumen kendang.

Beberapa istilah yang diperoleh dari artefak sejarah yang diketemukan memberikan informasi bahwa instrumen kendang mempunyai beberapa istilah yang berbeda untuk menyebutkannya, yaitu: padahi, pataha, padaha, muraba, murawa, muraja, dan mredangga. Kreativitas masyarakat Jawa pada masa lampau berkembang seiring dengan perjalanan waktu hingga pada akhirnya terbentuklah seperangkat instrumen musik Jawa secara lengkap yang disebut gamelan (Sutrisno, 1981: 5). Lebih spesifik disebut gamelan gedhe atau jangkep, yaitu seperangkat gamelan lengkap yang biasa dimiliki masyarakat secara umum (Palgunadi, 2002: 211).

Sejarah perkembangan alat musik gamelan telah diteliti oleh Soetrisno, seorang arkeolog yang mempunyai perhatian besar pada sejarah perkembangan gamelan Jawa. Hasil penelitian berdasarkan peninggalan arkeologis kemudian disajikan secara terperinci dalam bukunya yang berjudul  Sejarah 2 Karawitan‟ diterbitkan oleh Akademi Seni Tari Indonesia tahun 1981. Informasi mengenai perkembangan gamelan dimulai dari kemunculan alat musik yang masih sangat sederhana, baik yang berdiri sendiri sebagai salah satu kelengkapan dalam upacara adat/ritual atau dalam sebuah kelompok dalam jumlah yang kecil.

Proses perkembangan dalam rentang waktu hingga ratusan tahun membuahkan kreativitas untuk menggabungkan satu persatu dari alat musik yang ada menjadi kelompok yang lebih besar. Tahapan tertentu pada perkembangannya menghasilkan seperangkat alat musik dengan keragaman bentuk, ukuran, laras, teknik memainkan, dan estetika penyajiannya yang semakin baik. Akhirnya, perangkat ini disebut dengan istilah yang sangat dikenal, yaitu gamelan.

KONSEP TRI TUNGGAL DALAM KARAWITAN JAWA

            Konsep Trimurti pada ajaran Hindu, yaitu penjelmaan tiga dewa : Wisnu, Syiwa, dan Brahma. Konsep Triloka yaitu kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu diilhami dari ajaran Budha yang kemudian dividualisasikan pada penciptaan candi Borobudur. Begitu pula kejawen sebagai sistem religi masyarakat Jawa aslimempunyai konsep spiritual Tritunggal, yakni tiga spirit Urip – Sing Nguripi – Sing Gawe Urip yang merupakan suatu kombinasi kekuatan hidup yang mutlak; perjalanan manusia (sangkan paraning dumadi) yang terdiri dari tiga perjalanan, yakni lahir, urip, mati. Ketika unsur tersebut mewarnai bahkan mendasari setiap perilaku Jawa. Tidak sedikit konsep seperti itu, menjadi landasan terciptanya benda-benda atau bangunan-bangunan sebagai hasil seni budaya jawa. Gamelan yanag merupakan salah satu hasil karya atau produk budadya Jawa, tentunya juga mempunyai hubungan nilai-nilai yang syarat terhadap nilai religius.

      Dalam bmasyarakat Jawa banyak konsep falsafah hidup yang mempunyai jumlah tiga dan berlaku pada masyarakat Jawa, misalnya : konsep perjalanan hidup manusia lahir, urip, mati ; konsep “alon-alon waton kelakon” dan sebagainya.
      Konsep Tiga seperti diatas, juga dijumpai pada bangunan-bangunan atau benda-benda contohnya Candi borobudur yang memiliki tiga tingkatan bangunan. Konsep tersebut merepresentasikan konsep ajaran budha yakni Triloka ; selain candi borobudur, dalam keris juga dijumpai konsep tiga, yaitu wilah, ganja, pesi yang disebut juga teluning atunggal; kemudian bangunan rumah tradisional jawa yang mempunyai pembagian tiga ruang ; kesemuanya itu terinspirasi oleh konsep Tritunggal Jawa.
Dalam penataan Gamelan Ageng Yogyakarta secara lazim setiap instrumen dibagi menjadi tiga, sebagai contoh :
1.      Gender            : Gender Panembung (Slenthem), Gender Barung, dan
  Gender Penerus
2.      Bonang            : Bonang Panembung, Bonang Barung, dan Bonang Penerus
3.      Gambang         : terdiri secara tunggal, atau tidak terbagi tiga
4.      Rebab              : terdiri secara tunggal, atau tidak terbagi tiga
5.      Saron               : Demung, Saron, dan peking
6.      Kendang         : Kendang Ageng, Kendang ciblon, Kendang Alit
7.      Kenong           : kempyang, kethuk, dan kenong
8.      Gong               : kempul, suwukan, dan gong
Berdasarkan penjelasan diatas, Gamelan Ageng Jawa sebagai hasil karya (produk budaya) atasa sebuah ide, gagasan, atau konsep Tri tunggal sebagai salah hal yang menjadi landasan perilaku, atau aktivitas. Wujud kebudayaan ada jawa ada tiga yaitu, konsep Tritunggal Jawa sebagai ide atau gagasan, proses penciptaan atau pengadaan gamelan Ageng Jawa sebagai perilaku atau aktivitas, merupakan ketiga wujud kebudayaan yang saling mempengaruhi.
Berbicara masalah falsafah hidup dan spiritualisme masyarakat Jawa, kepercayaan manusia Jaya asli senantiasa menghubung-hubungkan keberadaan  “Tuhan” dengan alam. Inilah yang di kenal sebagai suatu ajaran kosmogoni dan atau kosmologi manusia Jawa.
Definisi Konsep Tritunggal Jawa
Menurut etmologi bahasa Jawa, istilah Tri Tunggal berasal dari dua kata, yaitu tri: tiga dan tunggal satunggil, awor tunggil golong yang berarti satu, berkumpul menjadi bulat menyatu.
Simbol-simbol konsep Tri Tunggal Jawa
Simbol Trimandala
a.       Tataruang rumah Jawa dan Bali sebagai simbol trimandala Konsep “ kesatuan-tiga” atau Tri Tunggal direpresentasikan kedalam bentuk rumah tradisional jawa lengkap . Rumah tradisional jawalengkap maksudnya , rumah tradisional jawa terdiri dari penataan ruang secara lengkap. Secara garis besar penataan ruang terdiri dari tiga yaitu : pendopo, pringgitan, dan dalam. “Kestuan-tiga” tampak divisualisasaikan kedalam bentuk ruang tersebut pada rumah tradisional jawa secara privasi merupakan suatu kesatuan.

b.      Konsep Tiga Kesatuan waktu dalam pertunjukan seni pertunjukan wayang kulit Jawa. Pertunjukan wayang kulit jawa, mengandung berbagai macam simbol-simbol yang berisikan filosofi jawa. Dalam Penataan kelir pada pertunjukan wayang jawa, konsep Tri Tunggal Jawa disimbolkan pada Plangkangan, Gedebog, dan kelir. Dalam pertunjukan wayang dibagi menjadi tiga pathet yaitu Pathet nem 21.00 - 00.00 melambangkan kehidupan kanak-kanak yang masih labil, pathet sanga 00.00 – 03.00 melambangkan suasana kehidupan orang dewasa menghadapi pemecahan problem hidup menuju kedewasaan, sedangkan pathet manyura, 03.00-06.00 melambangkan kehidupan orang tua mendekati keselesaiannya.

Unsur tiga dalam instrumentasi gamelan jawa antara lain dapat ditemukan pada ricikan- ricikan gamelan jawa yang didominasi oleh tiga unsur. Selain itu unsur tiga juga dapat ditemukan pada perangkat komposisi dasar musikalitas dalam gamelan ageng jawa, antara lain : Buka, Isi, Suwuk dalam komposisi dasar garap gending pathet  sebagai perangkat komposisi dasar garap gending dalam gamelan ageng jawa; serta klarifikasi tembang-tembang mocopat dalam vokal sebagai bagian dari instrumentasi Gamelan Ageng Jawa.
Dalam instrumen gamelan Ageng Jawa semua instrumen bahkan memikili unsur tiga, seperti gender, bonang, kenong, gong, saron, gambang, rebab, dan kendang. Dalam penataan ricikan bonang dibagi menjadi dua deret, yaitu deretan atas merupakan deretan pencon bernada tinggi (dinamakan brunjung atau lazim disebut bonang lanang) deretan bawah benada rendah (dinamakan Dempok atau lazim disebut dengan bonang wadon).
Dalam penyajian gending jawa dibagi menjadi tiga pathet  yaitu Nem, sanga, Manyura. Pembagian tiga pathet pada masing-masing laras (pelog dan slendro) diungkapkan oleh Suroso bahwa hal ini dikarenakan adanya kemungkinan mengenai pathet-pathet lain secara musikal dapat dimasukkan kedalam ketiga unsur pathet tersebut, dan adanya kemungkinan bahwa sistem pembagian tiga disebabkan oleh pengaruh konsep candi dan kayon (pada kesenian wayang).
KARAWITAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JAWA

            Dalam kehidupan masyarakat jawa, karawitan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Dijelaskan melalui terminologi sosial yang eksklusif, musik digunakan dalam tarian dan permainan; media pendidikan; terapi; mengorganisir kerja dan perang; dalam upacara dan ritual; penanda kelahiran, perkawinan dan kematian; merayakan panen dan penobatan; meneguhkan kepercayaan dan kegiatan tradisi. Selain itu, karawitan juga berfungsi sebagai sarana hiburan, sarana ibadah, etos kerja, dan juga propaganda.

            Karawitan sebagai upacara adat dapat dilihat dari upacara adat masyarakat jawa, sebagai contoh ruwatan, bersih desa, labuhan, sekaten dengan adanya iringan karawitan upacara adat akan berlangsung khusyuk dan khidmat.

            Karawitan sebagai media pendidikan dapat dilihat dari sudut pandang cara membunyikannya, di mana karawitan menjadi sajian seni musik yang enak didengar bila dimainkan secara bersama-sama. Ini mencerminkan bahwa kebersamaan menjadi satu hal yang sangat penting untuk mencapai hasil musik yang berkualitas (garapan musikal). Berarti pula ini merupakan pendidikan budi pekerti agar kita hidup dalam kebersamaan saling bergotong royong, tenggang rasa, tepa selira, empan papan duga sulaya bukan waton sulaya, menghindari sifat egois dan individualis.

            Dalam kehidupan sosial masyarakat jawa, Karawitan juga sebagai propaganda dan etos kerja. Sebagai contoh di Bantul membangun etos kerja masyarakatnya dengan Lagu Projo Tamansari.

Banyak masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai seniman karawitan dengan kata lain menggantungkan hidupnya pada cabang seni ini sebagai tempat mencari penghasilan atau pendapatan. Karawitan menjadi hiburan dengan warna tersendiri bagi masyarakat Jawa. Sajian pangkur jenggleng, campur sari, panembrama, uyon-uyon, siteran gadhon, cokekan, langgam, santi swaran adalah “nomor-nomor pilihan” yang digemari masyarakat.

            Masyarakat Jawa juga menggunakan karawitan sebagai iringan tari maupun wayang. Seni karawitan juga bisa digunakan sebagai iringan seni yang lain, seperti tari, teater, dan pedalangan. Seni tari dengan seni musik karawitan memiliki hubungan yang sangat erat dalam upaya membangun daya hidup tari, dinamika dan penyuasanaan tertentu. Hidajat (2005: 53) dalam bukunya berjudul Wawasan Seni Tari menyatakan bahwa musik dalam karya seni tari (koreografi) bersifat fungsional setidaknya terdapat 3 fungsi antara lain: musik sebagai iringan gerak, musik sebagai penegasan gerak dan musik sebagai ilustrasi.

            Dalam tradisi Jawa tari tradisi Jawa, salah satu instrumen yang berhubungan erat dengan fenomena ini adalah peran isntrumen kendang. Esensi instrumen kendang memiliki peran penting sebagai pembawa rasa seni karawitan ketika dijadikan partner tari. Karawitan tari belum dapat bermanfaat secara optimal tanpa adanya kendang, terutama bagi gerakan yang membutuhkan tekanan. Kendang sebagai pamurba irama atau pemimpin jalannya irama juga dapat menjadi mediator keseimbangan antara tari dengan karawitan (Trustho, 2005: 99).

            Selain terjadi perkembangan fungsi, dalam karwitan juga berkembang unsure musikalnya. Di abad millennium ini, telah muncul gamelan elektronik, tentu saja perkembangan ini menjadi warna tersendiri bagi kalangan seniman karawitan jawa. Terutama kalangan generasi muda. Sebagai contoh dimasukkannya perangkat musik modern seperti misalnya terompet dan snare drum pada iringan tari bedhaya di Kraton Yogyakarta atau gitar elektrik baik gitar string ataupun bass, keyboard, drum set pada kesenian campursari. Selain dalam kesenian Campursari saat ini seniman muda karawitan juga memasukkan elemen instrument music barat dalam pembuatan komposisi musiknya. Sebagai contoh yang “booming” saat ini adalah Konser Prawirata “Gamelan & Brass Collaboration” dimana dalam konser ini memadukan Gamelan yang dikolaborasikan dengan Brass. Hal tersebut tentu menjadi warna baru yang menarik bagi semua orang. Selain itu juga dapat mempengaruhi seniman lain dalam pembuatan karyanya.

            Secara musikal, karawitan iringan juga telah mengalami perkembangan. Sebagai contoh Dalang-dalang seperti Ki Enthus Susmono, Ki Seno Nugroho, dan hampir semua dalang memasukkan drum dan cymbal, dalam garap iringan wayangnya. Ada beberapa dalang yang menambahkan Biola, Saxofon, dan instrument musik barat lainnya untuk menambah suasana pementasan. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa dalam karawitan telah terjadi silang budaya.

            Dalam perkembangan Seni Karawitan di masyarakat tentu memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat, baik perkembangan fungsi karawitan, maupun perkembangan unsur musikalnya. Perkembangan ini berpengaruh pada ekonomi masyarakat, sosial, dan budaya. Ditinjau dari faktor ekonomi, tentu dengan adanya perkembangan ini ekonomi akan berkembang pesat. Sebagai contoh jika pentas semakin banyak, maka geliat ekonomi juga akan semakin berkembang. Mulai dari kebutuhan sound system, hingga kostum untuk pementasan. Hal ini juga berpengaruh pada ekonomi Seniman itu sendiri.

            Ditinjau dari faktor sosial, Prestise atau gengsi menjadi ciri dari masyarakat masa kini. Kadangkala ini menjadi tujuan. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa dengan mempergunakan peralatan yang berbau “modern kebaratan” berarti lebih canggih, tidak kuno dan kecanggihan ini bagi mereka (sebagian) dianggap mampu meningkatkan “gengsi”. Hal ini tentu pengaruhnya pada generasi muda yang banyak menggandrungi musik campursari.

            Perkembangan dan perubahan ini erat pengaruhnya dalam faktor Budaya. Dalam karawitan jawa, kita akan dapat satu sumber media sosial, media pendidikan budi pekerti seperti: tenggang rasa, tepa selira, kebersamaan, dan gotong royong. Sifat individual akan hilang karena dalam karawitan jawa ada interaksi, gotong royong dan kebersamaan. Karena itu adalah cerminan masyarakat jawa. Namun jika tidak dijaga, maka bisa saja perubahan ini dapat berakibat negative, utamanya bagi generasi muda masyarakat jawa.

KESIMPULAN

            Masyarakat Jawa memiliki musik tradisional asli jawa yang disebut dengan Karawitan Jawa. Karawitan jawa tidak bisa lepas dari budaya masyarakat Jawa. Karena karawitan adalah budaya yang adiluhung.  Karawitan dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat jawa, hal itu dapat dilihat pada, sejarah karawitan itu sendiri, konsep Tritunggal masyarakat jawa, fungsi karawitan itu sendiri, dan unsure-unsur dalam karawitan.

            Seiring berjalannya waktu karawitan mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari luar. Dari perkembangan dan perubahan itu, ada tiga faktor  yang terpengaruh dalam masyarakat, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor budaya. Dari perkembanghan fungsi maupun musikalnya hingga saat ini karawitan merupakan cerminan masyarakat jawa.







DAFTAR PUSTAKA

Hidajat, Robby. 2005. Menerobos Pembelajaran Tari Pendidikan, Banjar Seni
Gantar Gumelar, Malang.
Kunst, Jaap. 1973. Music in Java: Its History, Its Theory, and Its Technique. 2 jilid.
Edisi E.L. Heins. The Hague: Martinus Nijhoff.
Palgunadi, Bram. 2002. Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Penerbit ITB.
Soetrisno. 1981 Sejarah Karawitan, Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta.
Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in
Central Java, Chicago: The University of Chicago Press.
Sunaryo, Tejo Bagus. 2007.Representasi Konsep Tri Tunggal Pada Instrumentasi
Gamelan Jawa.Yogyakarta : Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni
Indonesia Yogyakarta
Trustho. 2005. Kendang Dalam Tradisi Tari Jawa, STSI Press, Surakarta.

Hartanto.  Perkembangan Estetika Musikal Seni Karawitan Jawa dan Pengaruhnya
Terhadap Masyarakat Pendukungnya. Universitas Malang. Jurnal-online.um.ac.id/data/artikel. Diakses Tanggal 23 Juni 2018 Pukul : 15.00
diakses tanggal 25 Juni 2018 pukul 03.00 wib.

About